WASHINGTON, D.C. – Dinamika hubungan antara dua tokoh paling berpengaruh di kancah global, mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan inovator teknologi Elon Musk, kembali memanas. Perseteruan yang sempat mereda kini berkobar kembali, mengubah lanskap media sosial menjadi arena pertarungan sengit yang disaksikan oleh jutaan pasang mata di seluruh dunia. Katalisator terbaru dari konflik ini adalah kritik tajam Musk terhadap rancangan undang-undang (RUU) anggaran yang diusung Trump, yang kemudian dibalas dengan ancaman serius dari pihak Gedung Putih.

Konflik ini menandai eskalasi signifikan dalam hubungan “cinta-benci” yang telah lama terjalin di antara keduanya. Jika sebelumnya perselisihan hanya terbatas pada sindiran verbal, kini ancaman yang dilontarkan berpotensi menimbulkan dampak langsung pada imperium bisnis Musk serta stabilitas politik Amerika Serikat.

Adu Serang di Ranah Digital

Titik didih konflik tercapai ketika Elon Musk, melalui platform X (sebelumnya Twitter) miliknya, secara terang-terangan melabeli RUU anggaran ambisius yang diajukan Trump sebagai “kekejian yang menjijikkan” dan “berpotensi menghancurkan jutaan lapangan kerja.” Musk berargumen bahwa RUU tersebut akan membebani negara dengan utang yang masif dan menyalurkan dana ke sektor industri yang sudah usang, alih-alih mendorong inovasi teknologi yang krusial bagi masa depan.

Respons dari Donald Trump tak butuh waktu lama. Melalui akun Truth Social pribadinya, Trump melancarkan serangan balasan yang sangat personal dan mengandung ancaman terselubung.

Ancaman Pencabutan Kontrak dan Spekulasi Deportasi

Dalam sebuah unggahan yang mengejutkan, Trump menulis bahwa langkah paling efisien untuk menghemat anggaran negara adalah dengan menghentikan seluruh kontrak pemerintah yang terjalin dengan perusahaan-perusahaan milik Musk, termasuk SpaceX dan Tesla. “Tidak akan ada lagi peluncuran roket, satelit, dan produksi mobil listrik. Negara kita akan menghemat sangat besar,” tulis Trump, menegaskan niatnya untuk menekan Musk melalui jalur ekonomi.

Ketika didesak oleh wartawan mengenai kemungkinan deportasi Musk, yang merupakan warga negara naturalisasi asal Afrika Selatan, Trump memberikan jawaban yang ambigu: “Kita harus lihat dulu.” Pernyataan ini, meskipun belum jelas tingkat keseriusannya, mengindikasikan kedalaman keretakan hubungan mereka. Musk sendiri merespons dengan nada menantang, “Silakan, buat hari saya menyenangkan,” sembari mengisyaratkan dukungannya terhadap wacana pemakzulan Trump. Hal ini menunjukkan bahwa Musk tidak gentar menghadapi ancaman tersebut dan siap untuk meladeni pertarungan politik.

Implikasi Politik dan Perebutan Pengaruh

Perseteruan ini melampaui sekadar konflik personal; ini adalah pertarungan narasi dan perebutan pengaruh di panggung politik Amerika. Musk, yang sebelumnya sempat menunjukkan dukungan terhadap kembalinya Trump ke kancah politik dan bahkan pernah terlibat dalam tim efisiensi pemerintah (DOGE), kini secara terbuka memposisikan dirinya sebagai oposisi kuat dari kalangan teknologi.

Langkah Musk yang mengancam akan membentuk partai politik baru bernama “America Party” jika RUU tersebut disahkan, dapat diinterpretasikan sebagai upaya untuk menantang hegemoni dua partai besar dan menarik simpati dari pemilih yang merasa kecewa dengan pilihan politik yang ada. Bagi Trump, pembangkangan dari figur sekaliber Musk merupakan tantangan langsung terhadap otoritasnya dan berisiko mengikis basis dukungan dari para pemilih yang mengagumi inovasi teknologi. Pertarungan antara kekuatan politik tradisional dan kekuatan kapital teknologi ini dipastikan akan terus berlanjut, dengan potensi menimbulkan gejolak signifikan pada lanskap ekonomi dan politik Amerika Serikat. Perkembangan selanjutnya dari perseteruan ini akan sangat menentukan arah dinamika kekuasaan di masa mendatang.