Pemerintah Indonesia secara agresif mendorong agenda transisi energi nasional, sebuah langkah krusial untuk melepaskan diri dari ketergantungan pada energi fosil dan mencapai target nol emisi karbon (Net Zero Emission/NZE) pada tahun 2060. Di tengah sorotan global terhadap perubahan iklim, serangkaian kebijakan strategis dan kolaborasi internasional digalakkan untuk menarik investasi raksasa yang dibutuhkan. Namun, perjalanan ini bukanlah tanpa hambatan. Berbagai tantangan fundamental, mulai dari target yang terancam meleset hingga realita sosial ekonomi di lapangan, membayangi optimisme yang digaungkan.

Kerangka Regulasi dan Diplomasi Energi sebagai Tulang Punggung

Pemerintah menyadari bahwa fondasi utama untuk menarik minat investor adalah kepastian hukum dan iklim usaha yang kondusif. Pemerintah kini memfokuskan perhatian pada finalisasi Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) yang telah lama dinantikan.

RUU EBET: Karpet Merah bagi Investor?

RUU EBET dirancang untuk menjadi payung hukum komprehensif yang mengatur segala aspek pengembangan energi bersih di tanah air. Di dalamnya, pemerintah menjanjikan berbagai insentif, baik fiskal maupun non-fiskal, penyederhanaan proses perizinan, serta skema harga yang lebih menarik bagi pengembang. “Kami tidak bisa lagi menggunakan pendekatan ‘business as usual’. RUU EBET adalah komitmen kami untuk memberikan kepastian jangka panjang dan memotong birokrasi yang menghambat investasi di sektor EBT,” tegas seorang pejabat tinggi di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam sebuah forum energi di Jakarta. Pemerintah berharap RUU ini, setelah disahkan, dapat mengubah lanskap investasi EBT secara signifikan.

Menggalang Dukungan Internasional

Di panggung global, Indonesia aktif menjalin kemitraan strategis. Skema pendanaan iklim seperti Just Energy Transition Partnership (JETP), yang menjanjikan mobilisasi dana sebesar $20 miliar USD, menjadi tumpuan utama. Pemerintah merencanakan penggunaan dana ini untuk membiayai program pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara dan menggantikannya dengan pembangkit EBT. Selain itu, pemerintah terus memperkuat kolaborasi bilateral, seperti dengan Norwegia dalam pengembangan teknologi Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS), serta dengan Jerman dan Jepang dalam eksplorasi potensi ekonomi hidrogen hijau dan amonia.

Tantangan Nyata di Depan Mata

Pemerintah terus menyuarakan retorika kebijakan dan menggelar seremoni kerja sama, tetapi kondisi di lapangan menghadirkan tantangan yang jauh lebih kompleks dan mendesak, yang harus segera mereka atasi.

Mengejar Target yang Semakin Jauh

Salah satu indikator paling nyata adalah laju bauran energi terbarukan. Pemerintah menetapkan target dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN) untuk mencapai 23% porsi EBT dalam bauran energi nasional pada tahun 2025, namun hampir pasti gagal mencapainya. Hingga paruh pertama 2025, angkanya masih tertahan di kisaran 14-15%. Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR, sering mengingatkan bahwa tanpa kebijakan radikal, target itu hanya akan jadi angan.

akan menjadi angan-angan. Ia menyebut masih ada inkonsistensi antara narasi ‘hijau’ kebijakan dan praktik lapangan yang utamakan energi fosil. Pertimbangan ekonomi jangka pendek sering jadi alasan utama dalam keputusan tersebut.

Kebutuhan Investasi dan Kesiapan Infrastruktur

Pemerintah memperkirakan bahwa skenario NZE 2060 membutuhkan pendanaan lebih dari $1 triliun USD. Anggaran negara tidak dapat memenuhi angka fantastis ini sendirian. Oleh karena itu, pemerintah mendorong keterlibatan aktif pihak swasta dan investor asing. Namun, investor masih menghadapi kendala klasik. Pemerintah pusat dan daerah sering kali membuat proses perizinan tumpang tindih. Pemerintah belum menetapkan harga jual listrik EBT yang menguntungkan dan belum menyederhanakan proses pembebasan lahan yang masih rumit. Lebih jauh lagi, infrastruktur kelistrikan nasional, terutama jaringan transmisi, belum sepenuhnya siap menampung karakteristik sumber EBT seperti surya dan angin yang bersifat intermittent (tidak stabil). Pembangunan ‘super grid’ yang dapat menyalurkan listrik dari wilayah kaya sumber EBT (seperti Sumatra dan Nusa Tenggara) ke pusat permintaan listrik di Jawa Bali menjadi proyek maha penting yang juga menelan biaya besar.

Akselerasi transisi energi Indonesia kini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, ada momentum politik dan dukungan internasional yang kuat.Pemerintah dan pemangku kepentingan harus merobohkan tantangan struktural, finansial, dan teknis yang masih menghambat. Keberhasilan program ini bergantung pada konsistensi kebijakan dan kemampuan menciptakan ekosistem investasi yang menarik.
Yang terpenting, pemerintah harus memastikan transisi energi berjalan adil tanpa mengorbankan masyarakat rentan. Langkah dalam beberapa tahun ke depan akan menentukan keberhasilan Indonesia mewujudkan masa depan energi bersih dan mandiri.