Gejolak Timur Tengah: Gencatan Senjata Iran-Israel, Akankah Perdamaian Bertahan?

JAKARTA – Ketegangan di Timur Tengah kembali memuncak, menarik perhatian dunia, termasuk Indonesia. Konflik berkepanjangan antara Iran dan Israel, dengan Amerika Serikat sebagai pemain kunci, telah memasuki babak baru yang ditandai dengan gencatan senjata. Namun, pertanyaan besar muncul: apakah gencatan senjata ini akan membawa perdamaian yang langgeng, ataukah hanya jeda sementara sebelum eskalasi berikutnya? Artikel ini akan mengupas tuntas dinamika konflik ini, peran masing-masing pihak, dampaknya terhadap stabilitas regional dan global, serta bagaimana Indonesia menyikapi situasi yang penuh gejolak ini.

Latar Belakang Konflik: Akar Ketegangan Iran-Israel

Konflik antara Iran dan Israel bukanlah fenomena baru. Akarnya terentang jauh ke belakang, terutama setelah Revolusi Islam Iran pada tahun 1979. Peristiwa ini mengubah Iran dari monarki pro-Barat menjadi republik Islam yang secara terbuka menentang pengaruh asing dan, secara khusus, menentang keberadaan Israel. Sejak saat itu, hubungan diplomatik antara kedua negara terputus, dan retorika anti-Israel menjadi bagian integral dari kebijakan luar negeri Iran [1].

Ketegangan ini semakin diperparah oleh program nuklir Iran. Israel dan sekutunya, termasuk Amerika Serikat, menuduh Iran berupaya mengembangkan senjata nuklir, meskipun Iran bersikeras programnya hanya untuk tujuan damai. Kekhawatiran ini memicu sanksi internasional yang berat terhadap Iran, yang semakin mengisolasi negara tersebut dan memperburuk kondisi ekonominya. Di sisi lain, Iran melihat sanksi ini sebagai bentuk agresi dan campur tangan terhadap kedaulatannya.

Peran Amerika Serikat dalam Dinamika Regional

Amerika Serikat memiliki peran sentral dalam dinamika konflik ini. Sebagai sekutu dekat Israel, AS secara konsisten mendukung keamanan Israel dan menentang program nuklir Iran. Keterlibatan AS seringkali terlihat dalam bentuk bantuan militer kepada Israel, penempatan pasukan di wilayah Timur Tengah, dan penerapan sanksi ekonomi terhadap Iran. Namun, campur tangan AS juga seringkali menjadi pemicu ketegangan lebih lanjut. Misalnya, penarikan AS dari perjanjian nuklir Iran (JCPOA) pada tahun 2018 oleh Presiden Donald Trump semakin memperkeruh suasana dan memicu Iran untuk melanjutkan pengayaan uraniumnya.

Baru-baru ini, AS juga terlibat langsung dalam eskalasi konflik. Pada 22 Juni 2025, AS melancarkan serangan bunker-buster ke fasilitas nuklir Iran di Natanz, Fordow, dan Isfahan, sebagai respons atas serangan rudal Iran ke Israel [2]. Keterlibatan langsung ini menunjukkan bahwa AS tidak hanya berperan sebagai mediator atau pendukung, tetapi juga sebagai aktor militer yang aktif dalam konflik ini. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa konflik dapat meluas dan melibatkan lebih banyak negara di kawasan.

Eskalasi Terbaru dan Dampaknya

Konflik Iran dan Israel kembali memanas secara signifikan dalam beberapa pekan terakhir. Puncaknya terjadi pada 13 Juni 2025, ketika Israel melancarkan serangan udara ke situs militer dan nuklir Iran, yang menewaskan sejumlah ilmuwan nuklir dan komandan militer Iran. Menurut laporan Al Jazeera, lebih dari 200 jet tempur Israel menghantam lebih dari 100 fasilitas nuklir dan militer, serta lingkungan pemukiman di seluruh Iran [2]. Serangan ini menyebabkan kerusakan parah dan menimbulkan korban jiwa yang signifikan di pihak Iran.

Iran tidak tinggal diam. Sebagai balasan, Iran meluncurkan ratusan rudal balistik ke kota-kota Israel. Dalam kurun waktu satu minggu, Iran dilaporkan meluncurkan lebih dari 400 rudal, dengan sekitar 200 di antaranya ditembakkan dalam satu serangan skala besar [1]. Aksi saling serang ini menyebabkan jatuhnya korban di kedua belah pihak. Menurut Kementerian Kesehatan dan Pendidikan Medis Iran, per 24 Juni 2025, total korban luka di Iran mencapai 4.746 orang, termasuk 185 wanita, dan 610 orang tewas, termasuk 49 wanita dan 13 anak-anak. Korban termuda berusia dua bulan. Di pihak Israel, 28 orang tewas akibat serangan balasan Iran [2].

Dampak dari eskalasi ini tidak hanya terbatas pada korban jiwa dan kerusakan fisik. Ketegangan yang memanas ini juga memperburuk stabilitas kawasan Timur Tengah yang memang sudah rapuh. Kekhawatiran akan perang berskala besar yang melibatkan kekuatan regional dan global semakin meningkat, memicu kecaman dan seruan untuk menahan diri dari berbagai negara di dunia.

Gencatan Senjata: Sebuah Harapan atau Jeda Sementara?

Di tengah situasi yang semakin memburuk, Presiden Iran Masoud Pezeshkian pada 25 Juni 2025 mengumumkan bahwa pihaknya telah mencapai kesepakatan gencatan senjata dengan Israel [1]. Pernyataan ini disampaikan melalui media resmi pemerintah Iran dan dikutip oleh beberapa media internasional. Pezeshkian menyebut gencatan senjata ini sebagai hasil dari “perjuangan heroik” rakyat Iran dalam menghadapi krisis. Ia juga menegaskan bahwa Iran menjunjung tinggi kedaulatan dan hukum internasional, serta terbuka terhadap penyelesaian konflik, termasuk dengan Amerika Serikat, selama proses tersebut dilakukan dalam koridor hukum dan norma internasional.

Namun, pertanyaan besar tetap menggantung: apakah gencatan senjata ini akan membawa perdamaian yang langgeng, ataukah hanya jeda sementara sebelum eskalasi berikutnya? Para analis, seperti Ayu Anastasya Rachman dari Universitas Bina Mandiri Gorontalo, berpendapat bahwa untuk memahami kompleksitas konflik ini, perlu menilik akar historis dan ideologisnya [1]. Sejak Revolusi Islam 1979, Iran mengalami pergeseran politik signifikan yang memicu ketegangan berkelanjutan dengan Israel. Tekanan ekonomi dan sanksi internasional juga mendorong Iran untuk mempertahankan strategi politik yang lebih agresif.

Kekhawatiran bahwa perang ini dapat terjadi kembali, bahkan dengan skala yang lebih besar, masih sangat tinggi. Mengingat Israel sering melakukan serangan terlebih dahulu dengan dalih bentuk pertahanan diri, konflik bisa saja kembali pecah. Skenario gencatan senjata jangka panjang antara Iran dan Israel tetap terbuka, terutama jika terdapat jaminan bahwa Israel tidak akan melanjutkan agresinya di wilayah Palestina. Selain itu, salah satu prasyarat penting dari pihak Iran adalah pelonggaran atau pencabutan embargo ekonomi yang diberlakukan oleh AS dan sekutu Baratnya [1]. Tanpa penyelesaian akar masalah ini, gencatan senjata mungkin hanya menjadi napas sejenak dalam konflik yang berkepanjangan.

Implikasi Global dan Posisi Indonesia

Konflik di Timur Tengah, khususnya antara Iran dan Israel, memiliki implikasi yang luas bagi stabilitas global. Salah satu dampak paling terasa adalah pada pasar energi dunia. Ketegangan di Selat Hormuz, jalur pelayaran vital untuk minyak dunia, dapat menyebabkan lonjakan harga minyak dan mengganggu pasokan global. Selain itu, konflik ini juga memicu kekhawatiran akan penyebaran ekstremisme dan terorisme di kawasan, serta memicu perlombaan senjata di antara negara-negara regional.

Bagi Indonesia, konflik ini memiliki beberapa dampak.
– Pertama, dari sisi ekonomi, lonjakan harga minyak dapat membebani anggaran negara dan memicu inflasi.
– Kedua, dari sisi keamanan, Indonesia memiliki warga negara yang tinggal di Timur Tengah, sehingga eskalasi konflik dapat membahayakan keselamatan mereka dan memerlukan upaya evakuasi.
– Ketiga, dari sisi politik luar negeri, Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim dan anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, memiliki peran penting dalam menyerukan perdamaian dan menekan pihak-pihak yang berkonflik untuk menahan diri.

Pemerintah Indonesia secara konsisten menyerukan de-eskalasi dan penyelesaian konflik melalui jalur diplomasi. Kementerian Luar Negeri Indonesia telah mengimbau warga negara Indonesia di Timur Tengah untuk selalu waspada dan menghindari aset-aset negara yang berpotensi menjadi target [3]. Selain itu, Indonesia juga mendorong diplomasi aktif di kancah internasional untuk mencari solusi damai bagi konflik ini [4]. Posisi Indonesia yang netral namun aktif dalam menyerukan perdamaian diharapkan dapat berkontribusi pada stabilitas regional dan global.